Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia, baik berupa tumbuhan tropis maupun biota laut. Sekitar 30.000 jenis tumbuhan dapat ditemukan di Indonesia dan 7000 diantaranya berkhasiat sebagai obat. Namun demikian, potensi yang besar tersebut belum dimanfaatkan secara optimal dibandingkan dengan negara lain seperti China, yang lebih dikenal sebagai negara penghasil obat herbal terkemuka di dunia. Dengan kata lain, pemanfaatan tanaman obat sebagai obat herbal, dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa Indonesia.
”Sejak tahun 2007, BPPT telah mengembangkan teknologi produksi obat berbahan alam. Sebelumnya kami lebih fokus pada pengembangan obat herbal, antara lain obat herbal antikolesterol, immunostimulan dan fitoestrogen. Bahkan, kami pun telah memiliki formula obat untuk kanker yang masih terus dikembangkan agar dapat dikomersialkan dan digunakan oleh masyarakat. Fokus inilah yang sedang kami kerjakan sekarang, yaitu mencari kandidat obat untuk kanker dan penyakit degeneratif lainnya”, kata Kepala Bidang Teknologi Pengembangan Formula dan Sediaan Farmasi BPPT Chaidir, saat wawancara di ruang kerjanya, Senin (1/2).
Menurut Chaidir, melalui proses fitokimia yang dilakukan, dapat menghasilkan senyawa aktif atau active compound dari tumbuhan yang memiliki efek menguntungkan bagi kesehatan serta berperan aktif dalam mencegah penyakit. Active compound ini digunakan dalam standardisasi obat herbal. ”Pengembangan yang sedang kami lakukan sekarang adalah menggunakan active compound yang berhasil diisolasi, yang nantinya akan dijadikan drug candidate. Dalam proses ini tentunya akan melibatkan beberapa kompetensi baru, seperti mollecular modelling dan sintesis”, jelasnya.
Pengembangan obat alami di Indonesia sendiri menurut Chaidir, terfokus pada tiga produk. Pertama simplisia, merupakan bahan baku alamiah yang digunakan untuk membuat ramuan obat tradisional yang belum mengalami pengolahan pengeringan. Tantangan yang dihadapi dalam pembuatan simplisia ini adalah pemilihan teknologi yang tepat guna yang akan diterapkan. Produk kedua yaitu ekstrak dan produk ketiga herbal.
Ekstrak merupakan hasil pemisahan suatu bahan dari campurannya. Tantangan dalam proses pembuatan ekstrak ini adalah bagaimana mendapatkan ekstrak yang unik yang terstandardisasi. ”Indonesia, meskipun memiliki sumberdaya yang melimpah yang dapat dikembangkan menjadi obat herbal, namun belum memiliki ekstrak standar yang unik. Kendalanya adalah, kita tidak menguasai teknologinya”, katanya.
Chaidir mengatakan bahwa untuk mendapatkan ekstrak standar yang unik BPPT telah bekerjasama dengan PT Indofarma Tbk, ”Mudah-mudahan setelah di identifikasi persoalannya pada ekstrak maka dapat kita patenkan dalam waktu satu tahun”.
Berbicara tentang target, Chaidir menjelaskan bahwa target Bidang Teknologi Pengembangan Formula dan Sediaan Farmasi BPPT melalui Laboratorium Pengembangan Teknologi Industri Agro dan Biomedika (LAPTIAB) dan BIOTEK adalah menjadi sebuah Contract Research Organization (CRO), yaitu sebuah organisasi yang mendukung industri farmasi atau biotek. ”CRO menyediakan jasa outsource penelitian farmasi, untuk membantu proses pengembangan dan penelitian bidang obat-obatan. Untuk menjadi CRO ini, diperlukan adanya penguasaan dari empat kompetensi, pertama proses fitokimia untuk mencari senyawa-senyawa baru, kedua uji in vitro, ketiga uji in vivo dan ke empat adalah modelling. Jika BPPT mampu membangun kompetensi-kompetensi tersebut, maka BPPT akan menjadi CRO yang diperhitungkan di dunia”, katanya.
Lebih lanjut Chaidir mengatakan, dalam mencapai target menjadi CRO selain membangun kompetensi yang dibutuhkan, BPPT juga melakukan kerjasama dengan Korea Research Institute of Bioscience & Biotechnology (KRIBB) dalam hal bioprospecting.
Hal senada diungkapkan oleh Peneliti International Biological Material Research Centre (IBMRC) KRIBB Jin-Hyub Paik. ”KRIBB telah bekerjasama dengan BPPT sejak tahun 2008. Korea seperti halnya China, terkenal dalam penggunaan obat herbal. Sebagai institusi pemerintah, KRIBB telah melaksanakan proyek 10 tahun untuk melakukan scientific analysis terhadap tanaman untuk meneliti kandungan senyawa yang dimiliki dan apa fungsinya bagi manusia. Masalah yang kami hadapi adalah tidak tersedianya jumlah tanaman yang cukup untuk menyelesaikan riset ini”.
KRIBB menilai, BPPT adalah mitra yang tepat dalam pengembangan riset tersebut. ”Ke depan, kerjasama bioprospecting ini akan dapat kita kembangkan ke arah riset pengembangan obat alami”, ungkap Jin-Hyub Paik. (YRA/humas*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar